PADANG – Perantau Minang yang juga menjabat Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Ikatan Keluarga Minang (IKM), Braditi Moulevey Rajo Mudo, mengajak seluruh pihak untuk menahan diri menyikapi insiden pengrusakan Rumah Doa jemaat Gereja Kristen Setia Indonesia (GKSI) di Kelurahan Padang Sarai, Kecamatan Koto Tangah, Kota Padang, Sumatera Barat (Sumbar).
Ia menegaskan pentingnya menjaga kerukunan serta tidak mudah terprovokasi oleh informasi yang belum terverifikasi.
Menurut Moulevey, masyarakat Sumbar dikenal memiliki tingkat toleransi yang tinggi dan selama ini hidup berdampingan dengan saling menghormati perbedaan.
“Saya lahir dan besar di Padang. Saya sangat meyakini bahwa masyarakat kita memiliki budaya toleransi yang kuat,” ungkapnya saat dihubungi, Selasa (29/7/2025).
Ia mengingatkan masyarakat untuk bijak dalam menerima informasi yang beredar, terlebih di tengah derasnya arus hoaks yang dapat memicu konflik lebih besar.
Moulevey pun berharap masyarakat tidak menelan mentah-mentah informasi di media sosial. Ia mengingatkan kembali pentingnya saring sebelum sharing demi menjaga suasana tetap kondusif.
Moulevey juga mengapresiasi langkah cepat pemerintah dan aparat yang berupaya menyelesaikan persoalan tersebut secara adil.
“Saya percaya pemerintah bekerja keras menangani persoalan ini. Semua pihak di tingkat nasional hingga para perantau Minang pun memerhatikan masalah ini dengan serius,” katanya.
Braditi Moulevey Rajo Mudo menyampaikan keyakinannya bahwa peristiwa ini tidak akan memecah belah masyarakat Sumbar. “Sebaliknya, saya percaya ini akan membuat kita semakin kuat dan bersatu ke depannya,” katanya.
Insiden pengrusakan Rumah Doa Padang Sarai yang terjadi Minggu sore itu terjadi ketika sejumlah warga RT 03 RW 09 mendatangi rumah milik jemaat GKSI.
Rumah tersebut sudah lama difungsikan sebagai tempat pendidikan agama Kristen bagi anak-anak, namun sebagian warga keliru memahaminya sebagai rumah ibadah gereja.
Pendeta Dachi menjelaskan, kesalahpahaman inilah yang menjadi pemicu utama ketegangan.
“Sebagian warga mengira rumah tempat pendidikan ini adalah gereja. Padahal bukan,” ucap Dachi, dalam mediasi yang digelar di Kantor Camat Koto Tangah, Minggu (27/7/2025) malam.
Insiden ini menodai persiapan Kota Padang yang sedang bersiap merayakan Hari Jadi Kota (HJK) Padang ke-356 tahun.
Aksi tersebut bahkan mengakibatkan dua orang mengalami luka. Merespons cepat, aparat Polresta Padang mengamankan sembilan orang yang diduga terlibat pengrusakan.
Wakapolda Sumbar Brigjen Pol Solihin menyatakan proses hukum akan berjalan profesional dan transparan.
“Tidak ada ruang bagi pelaku intoleransi. Kami akan menindak tegas sesuai aturan yang berlaku,” tegas Solihin. Ia juga meminta masyarakat tetap tenang dan tidak terpancing provokasi.
Perhatian serius juga diberikan Wali Kota Padang, Fadly Amran, yang turun langsung memimpin pertemuan mediasi. Hadir pula Kapolsek Koto Tangah Kompol Afrino dan Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Padang, Prof Salmadanis.
Pertemuan itu menghasilkan kesepakatan penting bahwa insiden ini murni akibat kesalahpahaman, bukan persoalan Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA).
“Pertama-tama, kita harus pahami perasaan saudara-saudara kita yang menjadi korban, baik luka fisik maupun psikologis. Ini bukan konflik agama, melainkan kesalahpahaman,” ujar Fadly.
Ia juga memastikan bahwa tindakan yang termasuk pidana tetap akan diproses sesuai hukum. “Kesalahpahaman sudah clear. Soal tindakan pidana tetap kami proses secara profesional,” tambahnya.
Ketua FKUB Kota Padang Prof Salmadanis menekankan pentingnya memperkuat dialog lintas agama dan membangun pemahaman bersama agar kesalahpahaman serupa tidak terulang. “Kami terus mengajak masyarakat saling menghormati dan memahami perbedaan. Kebebasan beragama adalah hak konstitusional,” katanya.
Saat ini, sembilan terduga pelaku sudah ditahan di Polresta Padang. Aparat menegaskan proses hukum akan dilaksanakan terbuka agar masyarakat yakin penanganan dilakukan adil dan profesional.
Insiden pengrusakan rumah doa ini menjadi pengingat bahwa kebebasan beragama dan kerukunan antarumat bukan hanya semboyan, tetapi tanggung jawab kolektif masyarakat, pemerintah, serta aparat penegak hukum. (*)